Langsung ke konten utama

Mati di Jogjakarta beserta Alasannya

Mati di Jogjakarta, sebuah antologi cerpen karya Egha De Latoya. Masih ingat ketika di Bandung akhir tahun 2022, masuk Gramedia aku hanya berpikir bahwa perlu beli buku. Tidak tahu mau beli buku seperti apa, tapi yang jelas adalah buku fiksi. Sederhana, karena buku yang terkahir aku baca (bukan karena suatu tugas atau pekerjaan) adalah buku non fiksi, yaitu Filosofi Teras.

Beberapa alasan akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini adalah:

  1. Kecil dan tidak tebal

    Mungkin kata “tidak tebal” lebih tepat diganti dengan “tipis”, tapi menurutku buku ini tidak tipis-tipis banget. Ini penting karena sampai tulisan ini aku ketik, aku masih tidak percaya diri akan bisa selesai membaca buku-buku tebal. Sepaket alasan, aku pikir ukuran yang kecil akan memuat tulisan yang tidak terlalu banyak dalam setiap halamannya. Sehingga target minimal membaca 10 halaman setiap hari tidak begitu berat. Remeh banget ya hehe. Aku juga sudah berpikir bahwa buku yang aku beli akan sering masuk tas dan dibaca ketika naik kereta, jadi jangan sampai terlalu menambah berat dan memenuhi tas.

  2. Fiksi

    Baca buku nonfiksi untuk memperluas wawasan, baca buku fiksi untuk melatih perasaan. Kurang lebih seperti itu kutipan yang pernah aku dapat untuk membaca kedua jenis buku tersebut, paling tidak secara bergantian. Memang banyak buku nonfiksi yang membahas tentang bagaimana melatih perasaan dan berhubungan dengan orang lain. Tapi menurutku dengan membaca buku fiksi, sering kali menyajikan beberapa kasus hubungan antar manusia dengan motif yang beragam, tentu menurutku ini memperkaya wawasan perasaan dan perilaku apa yang dirasa tepat untuk dilakukan.

  3. Sudah Ada Buku Kedua

    Aku baru menyadari siapa penulis buku ini ketika sudah memulai membacanya. Walau pun tetap tidak kenal siapa beliau. Adanya Mati di Jogjakarta 2 cukup membuatku yakin bahwa harusnya buku pertamanya bagus.

  4. Jogjakarta

    Secara ringkas, aku ingin tetap mengenal Yogyakarta meski saat ini aku tidak di sana. Walau kadang aku juga tidak paham tempat di Jogjakarta mana yang sedang diceritakan dalam cerpen.

Akhirnya buku ini mulai aku baca setelah selesai dengan Filosofi Teras, Jogja Bergolak, Man’s Search for Meaning, dan Jogja Bawah Tanah di akhir bulan Agustus 2023. Lumayan 4 buku dalam 1,5 tahun dan semuanya bukanlah buku fiksi.

Sebenarnya cukup kaget ketika mulai membaca Mati di Jogjakarta, kok kebanyakan tentang cinta. Namun lambat laun membaca, muncul topik-topik baru seperti keluarga, perpisahan, dan tentu saja kematian. Tidak hanya Jogjakarta, ternyata kumpulan cerpen ini terkadang juga menyajikan Jakarta dan Bali sebagai latar tempatnya, beserta kereta dan stasiun.

Kereta kupikir menjadi suatu magnet yang mendekatkanku dengan latar tempat ini, saat ini. Walau tidak banyak, tapi sering kali waktu membaca banyak aku lakukan ketika berada di kereta. Man’s Search for Meaning misalnya. Di sela membaca Mati di Jogjakarta aku juga sedang menulis opini tentang Orang Mabuk di Kereta.

Setelah membaca beberapa cerpen dalam buku ini, ada hal yang membuatku risi, yaitu tentang narasi-narasi bahkan percakapan yang menurutku tidak membumi. Aku pikir wajar ketika kata-kata puitis penuh majas dan kiasan muncul pada suatu narasi yang disampaikan oleh orang ketiga atau orang pertama pada pembaca. Tapi mulai aneh ketika hal-hal tersebut sering muncul dalam suatu percakapan di berbagai cerita. Serasa orang-orang yang penulis ceritakan jugalah penulis yang sehari-hari bercakap menggunakan bahasa-bahasa indah dan membingungkan.

Mungkin sebenarnya aku sendiri yang tidak paham. Atau mungkin pembaca memang dijadikan sebagai orang tidak tahu apa-apa yang muncul di tengah obrolan dua orang, tentu dia akan roaming (gak ngerti yang diobrolkan). Tapi mengapa format ini serasa sering muncul di cerpen-cerpennya? Atau perlu dibaca ulang sebuah cerita supaya paham, tapi sering kali di akhir membaca aku merasa tidak ada kait yang memunculkan rasa ingin tahu untuk membaca lagi, misalnya “eh kayaknya yang di awal tadi maksudnya gini deh … coba aku baca lagi”. Aku jarang merasakannya.

Ya mungkin memang aku sendiri yang belum terbiasa membaca cerpen-cerpen fiksi. Ketika selesai menulis ulasan ini, masih ada beberapa judul yang belum aku baca. Jika setelahnya aku punya pandangan lain, mungkin akan aku tambahkan nantinya.

Terlepas dari keanehanku dalam membaca percakapan dalam buku bersampul putih dengan tulisan Mati di Jogjakarta pada bagian kiri atasnya ini, ternyata punya beberapa kutipan yang bagus serta ilustrasi abstrak di setiap awal judulnya. Beberapa di antaranya adalah “Dengan membicarakan kematian aku ingin terus memperbaiki hidupku”, “Aku menyukaimu, boleh?”, dan “Ayah ingin, nantinya kamu dicintai lelaki yang juga dicintai keluargamu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah-Kisah Kebetulan di Fargo

Bagaimana jadinya ketika bapak-bapak korban perundungan tidak sengaja curhat pada seorang pembunuh? Pembunuh itu segera memberi pelajaran pada perundung, mengajak bapak itu bangkit, dan melibatkannya dalam kasus pembunuhan lainnya.      Begitulah Serial Fargo, kata kuncinya adalah “tidak sengaja” yang akhirnya bermuara pada “kasus pembunuhan”. Serial TV ini selalu memberi gimik di awal episode, bahwa diadaptasi dari kejadian nyata, korban yang selamat namanya disamarkan dan bla-bla-bla, seolah ini berasal dari kisah nyata. Tapi terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas serial yang telah sampai season 4 ini diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama “Fargo” yang rilis pada 1996. Film Fargo: latar waktu 1995 Jerry bernegosiasi dengan calon penculik ( sumber gambar )      Film ini bercerita tentang Jerry, seorang menantu resah karena bos yang juga merupakan mertuanya sering menyinggung ketidaksuksesan dirinya. Tanpa sepengetahuan istrinya, si menantu menyewa 2 orang kri

Budi Pekerti Coldplay di Plaza Senayan

 Sepuluh hari yang lalu, Rabu 15 November 2023, hari Coldplay tampil di Gelora Bung Karno. Saya jalan ke luar kantor, ke arah kerumunan calon penonton Coldplay, dan memutuskan untuk menonton Film Budi Pekerti di Plaza Senayan. Memang cara orang untuk mendapatkan kesenangan berbeda-beda. Ada orang yang senang dengan melihat artis luar negeri, orang yang berhasil mengundang artis luar negeri, orang yang senang dengan menghibur orang lain, orang yang senang berada dalam kerumunan, orang yang senang ketika berdagang dalam kerumunan, dan saya orang yang saat itu senang menghindari kerumunan. Bioskop di Plaza Senayan barang kali adalah bioskop paling eksklusif yang pernah saya datangi. Sepertinya tidak ada kecurigaan dari satpam melihat kemungkinan saya membawa makanan dalam tas yang berisi grill pan hadiah gathering yang siang itu saya ambil dari kantor. Bioskop pertama yang menolak uang tunai saya untuk membeli tiket. Bagus, padahal nominal yang harus saya bayar adalah 50000. Nominal y