Man’s Search for Meaning, buku kedua yang aku ambil dari rak adikku setahun ini, yang pertama adalah Filosofi Teras. Bukan sebuah kesengajaan, karena aku pikir buku tersebut akan sering masuk ke dalam tas, dibaca di kereta, yang intinya aku tidak ingin memberatkan beban bawaan dan beban bacaan.
Buku karya Viktor E. Frankl, seorang psikiater, yang menceritakan pengalaman dirinya sebagai tawanan di kamp konsentrasi Nazi saat Perang Dunia II. begitu jelas Frankl merefleksikan berbagai kejadian yang ia lihat dan alami. Semua kejadian itu memperkuat konsepnya terkait logoterapi, motivasi utama manusia untuk menemukan makna hidup. Bagaimana jelasnya, silakan cari tahu sendiri (karena aku juga lupa), tapi berikut beberapa hal yang aku ingat dari buku ini:
- Sosok Viktor E. Frankl kalau tidak salah pernah muncul dalam buku Filosofi Teras sebagai contoh manusia yang stoik. Bagaimana dia tetap dapat mengelola kesadaran dan emosinya di tempat yang semengerikan itu. Ternyata ketidaksengajaanku sudah disengaja oleh adikku, pikirku.
- Benar, humor adalah seni kehidupan. Untuk menikmati suatu penderitaan, humor menjadi salah satu pilihan berdamai dengan keadaan. Ada kalanya para tawanan membuat sesi hiburan. Bahkan diceritakan Frankl pernah mengajak teman sependeritaannya untuk membuat 1 anekdot setiap hari. Walau begitu Frankl juga sadar, tidak semua humor yang dia dapatkan harus dan bisa langsung diungkapkan.
- Karena hidup perlu dikompromikan. Senang ketika orang lain sedih, dan sedih ketika orang lain senang. Bisa jadi tidak masalah jika tidak saling berkaitan, karena setiap orang punya rasa dan kejadiannya masing-masing. Tapi bagaimana jika hal tersebut ada pada kejadian dan waktu yang sama? maka perlu empati (atau simpati?). Pada buku ini, Frankl memberikan waktunya untuk mendengarkan dan merespon dengan hangat puisi dari seorang penjaga tawanan, sehingga penjaga tersebut akhirnya baik kepadanya. Menjilat? Ya, jika tidak ada istilah lain yang lebih tepat. Bagiku memang ada beberapa orang yang senang berbuat baik, dan juga wajar jika ada orang yang berbuat baik karena dia mendapat kebaikan dari orang lain. Seperti pepatah “When life gives you lemon, make lemontea anget.”
- Membangun semangat hidup dengan menyadari tanggung jawab. Frankl mengusulkan jika ada Patung Liberty maka perlu juga Patung Responsibility. Kaitannya dengan makna hidup adalah kadang hanya dengan menyadari apa tugas, pekerjaan, tanggungan, fungsi kita hidup cukup menjadi motivasi kita untuk hidup, dan semua itu akan lebih baik jika dilandaskan dengan cinta. Sebagai contoh, kita semangat belajar di sekolah adalah usaha kita untuk mempertanggungjawabkan pengorbanan orang tua yang suatu saat kita ingin sukses sehingga membahagiakan mereka. Maaf jika mungkin penjelasan ini terlalu sederhana, dan mungkin kurang tepat.
- Makna hidup bisa kita dapatkan meskipun dalam penderitaan. Mungkin ini bukanlah poin utama dan secara persis tidak tertulis seperti itu, namun ungkapan tersebut cukup mirip dengan apa yang aku yakini bahwa tidak ada yang benar-benar sia-sia jika kita bisa memanfaatkannya, paling tidak belajar darinya. Walau tidak setiap saat aku bisa seperti itu. Tapi kita tidak perlu mencari-cari dan merasakan penderitaan hanya untuk untuk mendapat makna hidup. Bahkan Frankl menyebutkan jika suatu penderitaan bisa dihindari, maka berusahalah menghindar. Namun jika suatu penderitaan tidak terhindarkan atau itu sudah melekat pada dirimu, maka berdamailah. Sebegitu stoik-nya beliau. Perlu contoh?
- Sekarang tentang bagaimana menyikapi hidup ketika orang yang kita sayang telah tiada. Mungkin setiap dari kita pernah berpikir, bagaimana jika Ayah atau Ibu atau keluarga atau anak … kita akan meninggal dunia mendahului kita? Wajar jika kita sedih. Dan bagi sebagian orang yang berlarut-larut dalam kesedihan hidup tanpa mereka yang disayang, pada suatu waktu perlu dipikirkan kembali, bagaimana jika kitalah yang meninggal mendahului mereka? Mereka pasti juga akan sedih kita tinggalkan. Sehingga bagi kita yang ditinggalkan, menjadi suatu pengorbanan untuk merasakan kesedihan dan harus tetap menjalani kehidupan yang akan berbeda dengan tanpa adanya mereka.
Kamis malam, 13 Juli 2023, dalam kereta menuju Jogja. Aku masih membaca buku ini, dan berpikir bagaimana tindakan, perasaan, ketabahan orang tuaku dan keluargaku kepada nenekku di hari itu. Lalu bagaimana jika aku?
Komentar
Posting Komentar