Aku sekolah di Jogja
sejak SMA sederajat, STM. Tapi baru dua tahun yang lalu, kali pertama ku datang
ke FKY, Festival Kesenian Yogyakarta. FKY 28. Aku kurang tertarik dengan pasar
malam. Pilihanku pas STM kalau mau berkegiatan malam di Jogja, ya pulang dulu
ke Bantul terus ke Jogja lagi. Atau ku pikir lebih males lagi ke FKY gak usah
pulang, tapi pakai seragam STM, tas isi laptop dan yang paling males adalah
rambut 121. Multimedia kok cetak’an... Awh,
dah lah ya, pilihanku juga, sekolah di STM.
FKY 28 itu di Condong
Catur, Sleman. Ku pergi ke sana, dengan teman maba. Aku sudah bukan civitas
akademika STM lagi. Tapi tetap, rambutku masih tilas 121. Ku pikir bukan tentang
bangga “aku alumni STM”, tapi aku menyikapi aturan Ospek terlalu kaku. Efek STM...
FKY 29 itu di Pyramid,
Jalan Parangtritis. Bantul, bung. Tapi aku tidak menyempatkan mampir ke sana.
Karena apa? Rahasia... J
Kembali ke FKY 30.
Jumat, 27 Juli. Kawan kuncen UKMP sepakat berangkat ke FKY setelah Maghrib,
walau akhirnya setelah Isya baru berangkat. Tahun ini FKY juga bertempat di
Pyramid, Jalan Parangtritis. Kami berempat masih noob di FKY. Kami pikir di FKY bakal ada wahana permainan penguji
adrenalin seperti halnya pasar malam lainnya. Aku juga sempat mikir seperti
itu. Padahal aku pernah ke acara itu, walau hanya sekali.
Sampai sana ya
keliling saja, nonton karya-karya unik. Jalan terus sampai akhirnya duduk
lesehan nonton teater Cindelaras. Selesai, kami cuma nonton klimaks dan ending-nya. Paling tidak satu keinginan
dari kawan yang bilang pengen nonton teater sudah terpenuhi. Walau tidak penuh.
Tina.
Kalau keinginanku
datang ke FKY ya buat nonton film pendek lokal yang gak bisa didownload lewat LK21. Apasih... Sebelumnya kami cuma
memastikan kalau hari itu ada jadwal film yang diputar, gak tau bakal nonton
apa. Karena masih pengalaman pertama datang ke situ, feeling aja tempat nontonnya dimana. Ketika akhirnya sampai ke
tempat pemutaran film, kami mendapati film ketiga dari lima film di hari itu
sudah akan berakhir. Paling tidak masih ada 2 film lagi yang bisa kami tonton.
Film keempat berjudul
‘Sebuah Undangan’, kayaknya familiar. Ya, ternyata aku pernah nonton trailer-nya di ig kakak kelasku STM. Aku
sendiri kurang bisa menikmati, karena entah memang backsound film-nya atau karena lokasi pemutaran filmnya yang riuh dengan
suara. Beberapa percakapan yang kupikir asyik, jadi kurang terdengar baik. Gak
ada subtitle. Atau memang film
berbahasa Indonesia etikanya gak perlu pakai subtitle? Inggris lah atau apa, biar bisa membantu menerima
informasi dengan lebih enak. Tapi apalah, itu hanya pikirku.
Aku pribadi lebih
menikmati film ke-5, judulnya ‘Jenitri’. Genre dokumenter. Alasan pribadi sih, ‘Sebuah
Undangan’ menceritakan 2 siswa SMA yang masuk ke BK, yang ternyata setelah
selesai kupikir terlalu dasar untukku yang memang kuliah tentang pendidikan.
Tapi cara penceritaannya keren, sempat bikin bingung ‘itu ngapain sih
Konselornya cuma diam’, owh mindblowing.
Sedang ‘Jenitri’ yang awalnya aku pesimis bakal suka, karena ada kawan yang
kupikir aktivis lintas keyakinan, aku mencoba antusias nontonnya. Ilham.
Premisnya keren dan banyak menambah wawasan dengan humor dokumenter yang merakyat
banget. Dan ada subtitle-nya... Sampa-sampai
kawanku mengesampingkan kebutuhannya untuk mengunjungi stand paling selatan. Kang Has.
Minggu, 29 Juli 2018
Aji Tofa. Ig: @ajitof
Komentar
Posting Komentar