Tidak seperti biasa,
hari itu aku pulang sore. Bersama banyak orang lain yang juga pulang sore. Juga
tidak seperti biasa, sore itu aku memutuskan untuk menggunakan jalur yang biasa
digunakan banyak orang lain di sore hari. Ya benar jalannya ramai.
Terlepas dari
perasaanku yang kupikir sempat kacau hari itu. Awh, sepertinya aku memiliih
melewati riuhnya jalan umum hanya karena aku pengen punya alasan untuk
mengumpat di sore itu. Kupikir lagi keputusan untuk pulang sore bersama orang-orang
umum di jalan yang umum kali itu adalah untuk menilai seberapa tidak umum aku
dan apakah ketidakumumanku ini patut untuk dipertahankan.
Dan ya, aku merasa
bangga pada diriku. Ternyata jalan yang selama ini biasa aku gunakan untuk
pulang merupakan jalan yang lebih nyaman untukku, tapi entah lebih cepat atau
tidak. Toh secara waktu, aku juga jarang pulang berbarengan banyak orang lain
pulang.
Tapi ya, itu yang aku
rasakan. Aku juga tidak ingin memaksa atau menyarankan banyak orang untuk
mengikuti jalur yang aku gunakan. Karena kupikir jalan yang aku sudah rasa
nyaman, akan berubah kurang nyaman ketika banyak orang lain menggunakan. Ya aku
egois, ya... J Sederhananya dengan
pertimbangan jalan alternatif itu enak karena sepi, tapi ketika jalan
alternatif digunakan banyak orang, bukankah itu menjadi tidak alternatif lagi. Tapi entah juga lah, kupikir alternatif itu tentang
pilihan. Dan ketika jalan alternatif ramai, kalau masih bisa kulewat jalan
umum yang sepi, kupikir aku akan memilih jalan umum yang terasa alternatif ini.
Mengapa harus beda?
Aku masih ingat,
kurang lebih seperti itu yang sempat kawanku tanyakan lewat WA. Tapi setelah
aku cari lagi kok pertanyaannya gak ada... J Awh, entah lah.
Terlepas dari apa yang
diberikan sejak lahir dan tidak bisa diubah (kayaknya sebebenarnya setiap hal
memang sudah digariskan, deh... J), yang mungkin juga
menimbulkan hal pembeda. Menurutku ‘beda’ itu ada juga yang dikarenakan faktor
kebebasan. Kita bebas untuk berbuat atau memilih hal yang bebeda, selama itu
tidak melanggar aturan dan yang paling penting tidak membuat orang lain
terganggu.
Seperti yang aku coba
jelaskan di Urip iku Urup. Selain
manusia butuh mengekspresikan eksistensinya, tantangan hidup di era ini juga
(kupikir) menuntut untuk kita menjadi pribadi yang berbeda-beda (misalnya
tentang keahlian). Karena kalau mau jadi pribadi-pribadi yang memiliki
rutinitas sama di era revolusi industri 4.0 ini, pekerjaan rutin itu
kemungkinan akan tergantikan oleh mesin.
Kesadaran tentang
bakat dan minat yang berbeda-beda itu kalau dikolaborasikan bisa saja akan
menimbulkan suatu hal yang inovatif. Nah itu yang kemungkinan akan menjadi
celah untuk api kehidupan tetap terlihat menyala.
Awh, aku kok bahas pekerjaan, aku kan belum kerja... J Ya, intinya kembali lagi pada Urip iku Urup. Ibarat lampu yang
menyala, ketika kamu menyala seperti nyala lampu di sekitarmu, misal kuning.
Kamu akan terlihat sama, dan ya mungkin yang dikenal adalah kelompokmu, bukan
dirimu. Padahal setiap individu itu memiliki potensi lain, misalnya kamu
ternyata bisa menyala warna ungu, ya selagi gak mengganggu lampu-lampu di
sekitar, nyalalah ungu. Berbeda dan mungkin saja akan menarik. Mungkin... haha
Apakah diblokirnya tiktok adalah pengalihan isu bahwa susu bendera bukanlah susu..?
Sabtu, 7 Juli 2018
Aji Tofa. Ig: @ajitof
Sabtu, 7 Juli 2018
Komentar
Posting Komentar