cuma cerita fiksi yang gagal lomba
Di suatu desa. Ada seorang cewek cantik, berkulit langsat yang sedang mandi.
Namanya Jessica. Tapi itu keadaan 50 tahun yang lalu. Sekarang cewek itu telah
menjadi nenek. Tapi sekarang nenek sudah jadi janda, tanpa anak.
Seperti
mayoritas orang. Nenek itu juga masih butuh mandi. Dia mandi selayaknya nenek
lain mandi pakai gayung, yang ia pinjam dari partnernya, Sari. Nama panjangnya Sariyem.
Singkat cerita,
saat Nenek Jessica sedang asyik sikat gigi dengan menaruh gayung itu diatas
tembok kamar mandi. Kebetulan kamar mandinya tanpa genting penutup atap. Beliau
dikagetkan dengan suara anak-anak yang lari ke arah kamar mandi.
Tapi tidak lama
kemudian. Gayung yang ia taruh di atas tembok melayang di atasnya. Seperti film
Matrix, tapi pelurunya diganti menjadi gayung. “Jangan....” teriak Nenek
Jassica seraya melambaikan tangannya.
“PLUNG....”
gayung itu jatuh ke dalam sumur.
“Hahaha...”
teriak anak-anak tanpa henti.
“Gayung
tersayang. Bukti persahabatanku dengan Sari.” ucap Nenek Jessica dengan tegas.
Tanpa diduga, Jessica melompat ke dalam sumur dengan keren, “Aku akan
menyelamatkanmu....”
“Cemunguuuu...”
teriak anak-anak yang terhenti mendengar suara, “PLUK.”
Nenek itu pun
tewas tenggelam di dalam sumur. Anak-anak desa pun berteriak histeris.
Tidak lama,
para pemuda desa datang dan membawa Nenek Jessica ke atas. Warga pun
mengerumuni jasat janda tua itu. Tidak terkecuali kami, anak-anak yang telah
membuat beliau meninggal secara keren. Kami menangis dan merasa sangat
bersalah.
Jasat nenek sekarang
telah dimakamkan dekat kuburan suaminya tercinta.
Saya, putra
pertama dari Bu Sari pun diungsikan. Tapi adik saya tetap di rumah, karena dia
tidak berkaitan dengan tragedi kemarin. Saya ikut paman Manto ke Jakarta
bersama dua orang anak kembarnya serta Joko, salah satu teman yang juga ikut
bersama kami saat tewasnya Nenek kemarin.
Tamat.
Belum, cerita
ini belum tamat.
Lima tahun
kemudian. Buyung, tetangga kami yang juga terlibat dalam tragedi itu menelpon
kami, “Hallo. Ini aku Buyung. Aku takut. Nenek Jessica, sekarang gentayangan.”
“Buyung...
Nenek Jessica yang mati nyemplung
sumur dulu?” tanya saya.
“Bagaimana
kabar kamu? Baik, kan?” tanya Riko dari samping saya.
“Iya, Jo. Ini
Riko? Baik bagaimana, hampir setiap malam pocongnya eksis di depan aku. Dia
teriak-teriak kata ‘gayung’.”
“Owh, emangnya
kenapa? Kami sudah di Jakarta. Dan kami aman-aman saja.” ucap Joko.
“Makanya, dulu
saat diajak bapak gue itu mau, man.” sahut Riki.
“Bukan itu yang
mau aku sampaikan. Ini sudah gawat. Aku mau mengabari kalian khususnya, Tejo.
Kalau Manto tadi meninggal dunia.”
“Apa? Manto
adik aku?” tanya saya tidak percaya.
“Iya, gara-gara
pocong nenek gayung itu...”
Buyung pun
meneruskan ceritanya tentang Pocong Nenek Gayung dan meninggalnya adik saya.
Ternanyata adik saya meninggal saat ia malam-malam mau pulang ke rumah.
Saya segera
mengemasi barang-barang saya untuk pulang ke desa. Riki dan Joko ikut bersama
saya. Sedangkan Riko masih harus membantu bapaknya disana.
Sampai di desa,
kami disambut meriah. Hanya oleh Buyung.
“Untungnya
kalian segera kemari. Kalau tidak, korban selanjutnya bisa saja aku, bro. Jadi,
sekarang kalian juga berkemungkinan jadi korbannya juga.” sambut.
“Kampret lu.”
ucap saya.
Disana, kami
langsung ke rumah masing-masing. Terus ke makam tempat adik saya dikuburkan.
Tak lupa jalan tempat adik saya tewas. Jadwal kami memang padat.
Malam harinya,
kami berempat menyiapkan perlengkapan. Untuk menelusuri jejak “Pocong Nenek
Gayung” yang telah menjadi tranding topic
di desa kami.
Langkah pertama.
Kami pergi ke sumur tempat biasanya Nenek Jessica mandi.
“Ngapain ke
sumur masalalu itu. Nanti aku galau. Karena di tempat itu, dulu cintaku
diinjak-injak oleh Murni.” curhat Joko takut.
Sampai di sumur
tua itu. Kami sepakat untuk menggunakannya sebagai tempat uji nyali. Dan
Riki-lah yang kami korbankan.
“Beneran ni,
gue? Gue beneran? Oke.”ucap Riki sambil mengeluarkan HP-nya, “Tejo, nanti gue
divedio ya. Siapa tahu nanti ada penampakan, atau saya lagi eksis, atau
kemungkinan terjelek. Saya takut.”
“Baik. Kamu
pasti bisa.” jawab saya sambil menepuk pundak Riki yang mulai berjalan ke arah
sumur. Riki pun duduk bersila di dekat sumur. Sedangkan saya mulai merekamnya.
Lima menit
kemudian. Belum terlihat penampakan. Saya masih merekamnya. Riki terlihat mengantuk
di sana. Buyung asyik bermain catur bersama Joko.
Sepuluh menit
kemudian. Masih belum ada tanda-tanda pocong nenek gayung akan muncul. Baterai
HP Riki yang saya pakai akan segera habis. Riki sudah tertidur disana. Joko
sudah tidak ada di tempatnya. Kata Buyung, Joko baru buang air.
Tak lama
kemudian “Aaaa... Pocong...” teriak Joko dari balik semak-semak tempat dia
buang air. Saya dan Buyung segera berbalik mencari Joko.
“Oooo...
Nenek...” teriak Riki yang menghilang saat kami berdua menengok ke arahnya.
“Uuuu...
Gayung...” ucap sesosok pocong tua yang mengagetkan di depan kami.
“Pocong Nenek
Gayung...” saya dan Buyung lari ketakutan ke arah desa. Ternyata benar kata
Buyung. Kami pun masuk ke pos ronda. Riki dan Joko sudah menghilang, mungkin
mereka sudah tewas.
Tidak lama, di
balik asap kebun. Muncul Riki dan Joko membawa sebuah gayung. Mereka telah
dicuci otak oleh nenek itu. Sekarang mereka sudah menjadi zombie. Mereka semakin mendekat.
“Riki, Joko.
Ini kami, teman kamu. Tejo dan Buyung.” ucap saya ketakutan melihat mereka yang
semakin mendekat dengan gayungnya.
“Iya, bro.
Jangan makan kami.” imbuh Buyung yang sudah terpojokan di belakang saya.
“Kampret, lu.
Kami tadi nyari gayung cuma berdua. Malah kalian asyik-asyik berduaan disini.”
jawab Riki.
“Iya, ini
gayung milik ibu kamu.” sahut Joko sambil melemparkan gayung itu pada saya,
“Hantu Nenek Jessica itu cuma mau mengembalikan gayung ini, tapi dia belum
menemukannya. E... saat dia menemukannya, dia nggak bisa jongkok buat ngambil
gayungnya. Kan dia pocong.”
“Benar.” ucap pocong
Nenek Jessica dari belakang mereka, “Gue cuma mau mengembalikan gayung ini ke
ibu kamu, Jo.”
“Tapi kematian
adik saya, Nek?” tanya saya.
“Adik kamu
kaget saat melihat gue. Terus dia lari ke jalan. Ketabrak mobil, deh.”
“Owh gitu.”
“Jo, untuk
kenang-kenangan. Sekarang kita foto dulu bersama Nenek Gayung.” ajak Riki.
Tapi setelah di
foto hanya muka kami berempat yang kelihatan. Sedangkan pocong Nenek Jessica
tidak kelihatan sama sekali. Baru-baru ini kami sadar, kalau yang memfoto kami
adalah Nenek Jessica. Pantas kalau tidak kelihatan.
Saya segera
mengembalikan gayung itu pada Ibu. Desa kami pun menjadi aman kambali.
Komentar
Posting Komentar