Masih kepikiran
tidak sih kalau sekarang kita masih di era new
normal? Jika merasa sudah normal sih
wajar, sudah lebih dari satu tahun kita menjalani kehidupan dengan istilah PSBB
dan istilah lainnya yang terutama sering ditekankan ketika masa mudik atau
libur panjang tiba. Sering melihat peta kabupaten dan kapanewon muncul di
linimasa status WhatsApp ataupun media sosial lain, lengkap dihiasi warna
merah, oren, dan hijau. Setiap tempat memunculkan keran-keran air untuk cuci
tangan, kampung-kampung punya portal, himbauan memakai masker, menaati protokol
kesehatan dari 3M sampai sekarang menjadi 5M.
Jika merasa
sudah normal, tentu memakai masker, menjaga jarak, dan rajin cuci tangan sudah
menjadi kebiasaan, dong. Seperti halnya kita terbiasa memakai helm ketika
mengendarai motor. Selain helm, sekarang ketika berkendara kita juga harus
memakai masker. Jadi, masa sih ada yang naik sepeda motor tanpa memakai helm,
tidak pakai masker, masih sambil merokok pula. Kan kebangetan...
Mencuci Tangan
Tentu jika dapat
memilih, lebih baik kita hidup normal seperti sebelum munculnya corona,
Covid-19. Ya memang, himbauan rajin mencuci tangan dengan sabun itu baik.
Bahkan jauh sebelum era pandemi, ajakan rajin mencuci tangan sudah jamak digaungkan
di sekolah melalui Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Memakai Masker
Awalnya kita
rasa mengganggu ketika beraktivitas, berbicara, bahkan bernapas, suka copot pas
pakai helm, harus beli pengait masker buat kerudung, ingin memberi sedekah
berupa senyuman manis tapi takut tidak kelihatan, juga sampai enggan menyapa
karena takut salah orang. Ah, katanya sudah merasa normal, pakai masker saja
merasa belum nyaman, sudah setahun lho ya. Padahal tanpa adanya pandemi
Covid-19, memakai masker di jalanan itu sudah jadi rekomendasi lho. Ingat,
polusi udara semakin bertambah buruk.
Walau kendaraan dan jalanan di DIY tidak separah dan sepadat kota-kota besar lain, tapi pernah dengar dong cerita senada dari orang tua yang waktu mudanya sering bersepeda dari Jalan Samas (Bantul) sampai Jalan Kaliurang (Sleman) dengan jalanan yang belum semuanya diaspal. Mungkin saja pakai masker di masa dengan udara sejuk dan asri tersebut malah dianggap tidak normal.
Manjaga Jarak Tapi inilah yang
paling sulit. Jarak aja dijaga, apa lagi kontak fisik. Boro-boro masuk sekolah
bersalaman dengan bapak/ibu guru di gerbang atau lobi sekolah, sekolah saja
lebih sering dari rumah. Bagaimana tidak muncul berbagai macam teori
konspirasi? Manusia sebagai makhluk sosial aja kehidupan sosialnya banyak
dibatasi. Jabat tangan sudah jarang dilakukan, kegiatan yang asyiknya kalau
ramai dibubarkan, acara yang harapannya mempererat kerukunan sering ditiadakan.
Kita itu lebih kuat jika bersatu lho, “3. Persatuan Indonesia.”
Gotong Royong
“Mungkin ini usaha licik elit global untuk
meruntuhkan pondasi bangsa Indonesia, Pancasila. Mereka tidak mau jika kita
menjadi bangsa yang mandiri karena kompak, bisa bekerjasama, sebab gotong
royong adalah jati diri bangsa kita. Konspirasi...”
Ya mungkin
benar, tapi mungkin juga salah. Tapi yang jelas, berdasar data Covid-19 memang
benar adanya. Sekarang masih pandemi, berkegiatanlah dengan tetap mematuhi
protokol kesehatan. Jadi mari kita gotong royong untuk memutus rantai
persebaran Covid-19.
Berdasar KBBI, gotong royong memiliki arti bekerja bersama-sama (tolong menolong, bantu membantu). Sehingga gotong royong tidak melulu harus berbentuk pekerjaan fisik yang dilakukan masyarakat secara bersama untuk membuat atau membangun sesuatu, membersihkan lingkungan ataupun pekerjaan fisik lain. Melainkan juga berbagai program dengan tujuan yang sama, dibuat untuk dilaksanakan secara bersama dan kompak, walau bisa jadi setiap orang memiliki peran berbeda. Apalagi di era pandemi yang rawan penyebaran Covid-19 jika gotong royong secara langsung dilakukan.
Gotong Royong Umumnya
Walau begitu
dengan pertimbangan dan persetujuan setiap komponen masyarakat, gotong royong
secara fisik atau kerja bakti tetap diperbolehkan, tentu dengan kesadaran dan
tetap menerapkan protokol kesehatan. Karena tidak dipungkiri kita masih sering
melihat berbagai perombakan atau pembangunan gedung-gedung baik sekolah, tempat
umum, dan lainnya yang tetap dilakukan di masa pandemi. Tentu mereka tetap
menerapkan protokol kesehatan.
Walau kegiatan
tirakatan ataupun kegiatan Tujuh Belasan yang erat berkaitan dengan kerukunan
dan gotong royong mulai dari rapat, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi
ditiadakan. Gotong royong secara fisik di masa pandemi sebenarnya tetap dapat
hidup dan diperlukan. Beberapa kekhasan gotong royong secara fisik yang
dilakukan masyakarat di masa pandemi Covid-19 adalah pembuatan serta pemasangan
poster protokol kesehatan dan portal kampung, penyediaan tempat cuci tangan,
bahkan penyemprotan disinfektan berkala di rumah-rumah warga.
Juga merupakan Gotong Royong
Selain itu,
gotong royong yang tidak kalah diperlukan selama pandemi adalah dengan kompak
menaati protokol kesehatan. Memangnya penting
menaati prokes harus secara gotong royong? Ya penting lah, perpustakaan
sudah menyiapkan hand sanitizer,
tempat ibadah menyediakan masker, warung mi ayam menata ulang bangku biar bisa
jaga jarak. Tanpa kesadaran dan rasa gotong royong dari pihak kedua,
kebaikan-kebaikan itu mungkin saja terabaikan dan tidak digunakan. Walau tentu
lebih baik jika dimana pun, kita sudah menyiapkan masker dan hand sanitizer secara
mandiri. Gotong royong membudayakan protokol kesehatan di era pandemi, bosku...
Gotong royong
kali ini bukan hanya tentang membangun gorong-gorong drainase tingkat RT. Aktor
yang terlibat bukan hanya bapak-bapak dan pemuda, donatur, serta ibu-ibu yang
memasak soto lengkap dengan mendoan dan menyiapkan es/teh anget saja.
Ini pandemi,
bro. Satu dunia mengalami masalah yang sama. Setiap negara memiliki kebijakan
dan program dengan cita rasa masing-masing untuk memutus rantai Covid-19 ini.
Kita sebagai bangsa Indonesia harusnya juga bisa memutus rantai Covid-19 dengan
cita rasa kekhasan kita, yaitu gotong royong.
Kita gotong
tujuan memutus rantai penyebaran Covid-19, dengan peran positif masing-masing.
Bagi para pemangku kebijakan tentu memberlakukan program-program yang berdasar
riset dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, salah satunya adalah dengan
vaksinasi beserta tahap dan gelombangnya. Tenaga medis dan Satgas Covid-19
berperan praktis dalam penanganannya.
Teman-teman yang
sekolah/kuliah dari rumah tetap disiplin dan aktif merespon pelajaran dari
guru. Kan kasian kalau Bapak/Ibu guru sudah bersungguh menyampaikan materi,
ternyata cuma ditinggal tiduran main game
online sambil tetap pakai seragam atasan karena di awal harus menghidupkan
kamera video untuk daftar kehadiran. Syukur-syukur beri saran ke Bapak/Ibu guru
supaya pembelajaran dapat lebih efektif, efisien dan tidak membosankan.
Sedangkan kita,
masyarakat yang telah diperbolehkan bangkit dari perjuangan kita rebahan saja
di rumah. Diperbolehkan berjuang dengan cara bekerja, ikut memutar ekonomi
sesama dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Kita juga harus siap
menerima vaksin ketika sudah waktunya. Tidak usah takut kalau divaksin bakal
jadi titan (raksasa), beritanya juga tidak ada.
Adapun untuk masyarakat yang telah berusaha menaati protokol kesehatan bahkan telah divaksin, namun ditakdir tetap terkena Covid-19. Bersabar, dan tetap berperan baik. Lapor Satgas Covid ataupun ketua RT supaya mendapat penanganan dan masyarakat dapat dikondisikan. Beri tahu keluarga dan kontak terdekat supaya tidak panik dan aktivitas atau tanggung jawab yang tidak bisa kita laksanakan seperti biasa dapat dicari jalan keluarnya. Melakukan karantina di shelter ataupun di rumah secara mandiri dengan tertib.
Yakin, jiwa gotong royong tetap ada di masyarakat sekitar kita. Tidak sedikit masyarakat yang bersedia mencarikan/menyiapkan sembako dan kebutuhan lain ketika kita karantina. Tapi tetap, selalu ingatkan mereka untuk menaati protokol kesehatan. Lakukan niat baik, dengan cara yang baik pula.
Jadi pandemi
bukan alasan untuk kita tidak gotong royong. Mari kita gotong tujuan memutus
rantai persebaran Covid-19 bersama-sama.
Komentar
Posting Komentar