Nggak man
"Berjuang
Bersama Teman. Colok no 69 W*hyu *di N, SE caleg B*mb*nglipuro Bantul. Salam
Merdeka BFJ." Sebuah SMS dari teman SMP yang suka JKT, tapi saya yakin
dia belum pernah liat JKT perform. Perform live di Metro TV.
"Titip
salam. Maaf selama ini aku tidak bisa tulus mencintaimu." Balas saya
padanya. Saya nggak tersenyum ya saat membaca dan membalas SMSnya, saya prihatin, man. Gila, baru umur 15 tahun aja
sudah jadi caleg. Suruh beliau nunggu 2 tahun lagi. Umur 17 lebih terus ke
warnet cari, tonton BFJ. Java Heat, OVJ, Legenda Roro Jonggrang. Bintang
Film Java.
Banyak
teman saya yang ngomongin Pemilu. Mereka tidak ngomongin caleg-nya, tapi
Partai-nya. Itu apa, man. Pembuat undang-undang itu caleg-nya, bukan
Partai-nya. Apa
itu semua bisa dibilang “Cah Politik/ Anak Politik”, nggak man.
Bahkan teman-teman saya membuat lembaga survei di kelas.
Pilih Merah (P IDP) atau Hijau (PPPP).
Hampir semua siswa memilih Merah. Kecuali pihak hijau dan
saya dengan kedua teman saya yang memilih golput. Mengapa kami bertiga memilih
golput, karena kami belum punya hak pilih dan seandainya Golput itu menjadi
partai, maka kami akan jadi mayoritas.
Tibalah
seorang Slemaners mendapat giliran survei. "Kamu milih P IDP atau
PPPP?". Dengan lantang dia menjawab "Aku pilih FAN."
Tidak
hanya sampai proses survei itu saja. Mereka pihak Merah dan Hijau selalu
menganggap semua-nya adalah alat peraga kampanye dan 'itu bantuan dari Partai
gue.'
Ke
kantin, makan nasi. Liat sambal "Abang... man. Partai gue."
Di luar
kelas, liat pakaian praktik jurusan listrik "Ijo... partai gue..."
Lagi
jalan, liat tembok di cat merah "Partai gue."
Liat
orang pakai baju merah "Bantuan partai gue."
Liat
taman dan pepohonan "Itu, bantuan partai gue..."
Itu apa,
man.
Apa itu semua bisa dibilang “Cah
Politik”, nggak man. Itu semua “Cah Partai” Dan saya salut pada beberapa teman
saya yang menyempatkan mencari tahu tentang partai dan oposisinya.
Saya tidak akan membahas Kampanye
Hitam. Karena kampanye hitam tu bisa lu hapus dan laporin. Tapi Kampanye
Terbuka? Yang jelas-jelas punya aturan, yang dapat dilanggar. Mau bawa anak
kecil di bawah 17 tahun, 10 tahun, 5 tahun itu illegal. Tapi bisa. Nggak usah
pakai helm, gembor sana gembor sini ganggu pengguna jalan lain itu illegal.
Tapi bisa.
Di Jogja sendiri, kota Pelajar.
Masih ada saja (yang katanya<mungkin beberapa>) simpatisan partai yang
kampanye lewat komplek sekolahan. Ini ngganggu, man. Walau Cuma 5 tahun sekali
(tapi faktanya nggak cuma sekali) bisa kayak gitu. Saya yakin pemerintah telah
membuat jalur resmi buat kampanye terbuka seperti itu. Dan kalau saya dengar
dan perjalanan saya terganggu karena saya lewat jalur kampanye terbuka sih,
saya bisa memaklumi. Ini salah saya.
Terus apa fungsi kampanye terbuka
yang menghabiskan uang berjuta-juta. Tanpa makna? Nggak kan man. Apa yang
dipikirkan mereka saat melakukan kampanye terbuka yang mengganggu hak orang
lain untuk menikmati perjalanannya. Tolong koment, man.
“Kampanye terbuka itu untuk
mengenalkan partai, caleg dan capres kita pada masyarakat.” Iya, benar. Tapi
kalau mau kenalan aja nggak usah begitu kali, man. Lu datangin
kampong/desa-desa, lu ajak kenalan warganya. Kalau perlu sewa media massa untuk
mengenalkan partai anda dan beradu argumenlah, visi misi dengan caleg lain.
Sehingga kami tahu siapa yang lebih layak untuk dipilih. Bukan siapa yang
mempunyai massa terbanyak dan jadi mayoritas. Kelen ya.
Walau begitu, ini semua hanya
pendapat saya. Kalau masih suka kampanye terbuka ya silakan. Dari pada golput,
man. Toh, masih ada ibu-ibu lanjut usia yang membawa anak cucunya untuk melihat
dan mendengar orasi knalpot blombongan anda yang lebih keras dari visi
misi-nya.
True
story, mereka para masyarakat suka ya sama kampanye terbuka, sampai
menyempatkan waktu untuk melihatnya. Dan saya yakin kalian para simpatisan yang
ikut kampanye juga tahu, kalau sebagian dari mereka menutup telinganya dengan
tangan mereka. Menyumbat telinganya dan menutupi hidung dengan entah itu apa.
Memakai kaca mata biar terlihat lebih bijaksana. Bahkan banyak diantara kalian
sendiri yang juga melakukannya. Karena apa?
“Lu
kira kampanye begini nggak bising, banyak debu dan asap?” ya benar.
Cah Politik? Nggak, man.
Mohon
maaf kalau menyinggung atau pun ada salah
@absurddin
Paragraf yang
sulit untuk dicerna:
“Ah,
lu bisanya cuma nulis gini aja, Ji.” Ya memang, saya belum punya hak untuk ikut
memilih dengan bijaksana seperti kalian. Pastikan siapa yang lu akan pilih bisa
menedengar apa aspirasi kalian. Ya, mungkin memang tidak mungkin semua aspirasi
kalian satu persatu akan didengar langsung. Sekarang kan sudah ada internet,
pikiran-pikiran baik yang dapat membangun Indonesia juga banyak. Dan jika
memang aspirasi lu itu didedikasikan untuk banyak orang. Pasti banyak orang
juga yang sekeinginan dengan lu.
Komentar
Posting Komentar