Langsung ke konten utama

Budi Pekerti Coldplay di Plaza Senayan

 Sepuluh hari yang lalu, Rabu 15 November 2023, hari Coldplay tampil di Gelora Bung Karno. Saya jalan ke luar kantor, ke arah kerumunan calon penonton Coldplay, dan memutuskan untuk menonton Film Budi Pekerti di Plaza Senayan. Memang cara orang untuk mendapatkan kesenangan berbeda-beda. Ada orang yang senang dengan melihat artis luar negeri, orang yang berhasil mengundang artis luar negeri, orang yang senang dengan menghibur orang lain, orang yang senang berada dalam kerumunan, orang yang senang ketika berdagang dalam kerumunan, dan saya orang yang saat itu senang menghindari kerumunan.

Bioskop di Plaza Senayan barang kali adalah bioskop paling eksklusif yang pernah saya datangi. Sepertinya tidak ada kecurigaan dari satpam melihat kemungkinan saya membawa makanan dalam tas yang berisi grill pan hadiah gathering yang siang itu saya ambil dari kantor. Bioskop pertama yang menolak uang tunai saya untuk membeli tiket. Bagus, padahal nominal yang harus saya bayar adalah 50000. Nominal yang sebenarnya tidak menyusahkan untuk saya siapkan, saya ambil dari dompet, dan tidak perlu memikirkan kembalian uang receh untuk didonasikan atau bilangan puluhan rupiah yang sulit ditunaikan.

Saya yang pada dasarnya senang menghindari kerumunan, sejujurnya kadang juga butuh kerumunan. Salah satunya adalah ketika nonton di bioskop. Entah marketing seperti apa yang diterapkan saat itu, pada saat saya membeli tiket dan diarahkan untuk memilih bangku, terlihat 1 deret bangku isi. Katanya itu adalah untuk undangan. Selain deret itu seingat saya ada 2 atau 3 bangku lain yang sudah dipilih. Tapi sampai film tayang hanya ada 3 orang termasuk saya dalam ruang teater, serta 1 orang di kanan depan yang sepertinya keluar masuk ruangan. Film tetap bisa saya nikmati.

Cerita yang mengambil latar tempat di Yogyakarta dan waktu pada saat pandemi Covid-19. Berkisah tentang Bu Prani, guru BK yang sedang mengikuti seleksi wakil kepala sekolah dengan keluarga terdampak Pandemi: Pak Didit, suami yang memiliki gangguan jiwa karena berbagai usahanya gagal sebab pandemi; Muklas, anak laki-laki yang menjadi influencer self-healing di media sosial; dan Tita, anak perempuan yang suka nge-band dan berjualan pakaian thrifting secara online.

Saya pikir seperti keluarga umumnya, yang jika dilihat di tempat umum terlihat akrab dan saling melindungi. Itu memang betul. Namun di dalam hubungan antar anggota keluarga sendiri bisa jadi ada kecanggungan-ketidakkompakkan, tapi rasa cinta-kasih sayang dalam keluarga saya yakin tetap ada. Hal inilah yang sepertinya menjadi poin penting dalam film, masalah yang muncul, proses serta penyelesaiannya juga muncul dengan aspek ini.

Berlatar waktu ketika masa Belajar dari Rumah, tentu sudah memunculkan kebiasaan baru di masyarakat baik bagi orang tua maupun anak-anak. Gawai dan media sosial mulai menjadi hal lumrah. Meski interaksi secara langsung sudah mulai ditemui, tentu dengan tetap jaga jarak dan penggunaan masker. Banyak hal yang film ini kulik dari internet dan media sosial, bagaimana sebuah video sebagian menjadi kesimpulan utuh yang mentah-mentah dipercaya, viral-meluas di dunia maya, dan membuat kehidupan nyata orang-orang di dalamnya berubah.

Selain tentang keluarga dan media sosial, seperti judulnya film ini tentu memunculkan unsur budi pekerti. Budi pekerti atau tata nilai akhlak dapat dibentuk melalui pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. Budi pekerti dalam sekolah tentu secara langsung ditunjukkan melalui diri Bu Prani sebagai guru BK yang dengan telaten menghadapi murid-muridnya. Pembentukan budi pekerti dalam keluarga juga diupayakan oleh Bu Prani pada anak-anaknya, meski secara langsung nampaknya tidak seberhasil ketika Bu Prani mendidik muridnya, namun karakter baik tetap ada pada diri anak-anaknya.

Pembentukan budi pekerti melalui pendidikan masyarakat muncul menjadi dominasi hal-hal menyedihkan. Bahkan sampai akhir film rasanya ada beban, sedih, dan haru. Pandemi yang mengakselerasi pemanfaatan teknologi dalam masyarakat ternyata tidak sepenuhnya diimbangi dengan pemikiran dan akhlak yang baik. Ada orang yang jelas bersalah tapi mencari pembenaran, ada orang yang merasa benar berniat baik namun sebenarnya itu tidak benar-benar baik, dan ada pula orang yang ikut memusuhi sesuatu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Poin terakhir belum lama juga terjadi di dunia nyata. Ketika ada kasus Kekerasan Seksual di suatu kampus yang menyebar melalui media sosial. Menunjukkan identitas terduga pelaku, yang menjadi sasaran empuk netizen dalam menghujat dan mengungkap kehidupan terduga pelaku. Sampai akhirnya terduga pelaku melakukan klarifikasi bahwa itu penipuan, dan terduga korban yang ternyata penipu terungkap. Kabar permohonan maaf pada terduga pelaku tidak semasif hinaan yang dia dapat dari netizen sebelumnya. Atau mungkin memang tidak banyak netizen yang minta maaf atas sat-set jari jemari dalam menghujat.

Hal ini mengingatkan saya pada suatu prinsip yang sepertinya bisa dipakai dalam banyak hal untuk menyikapi kehidupan bersosial. Walau mungkin kadang saya tidak menerapkannya, yaitu:

Paling tidak lakukan apa yang ketika dilakukan orang lain pada diri kita, kita tidak merasa rugi dan terganggu.

Kurang lebih bagitu, namun bisa jadi akan ada narasi yang lebih tepat. Namun 2 kata awal “paling tidak” saya maksudkan sebagai standar terendah. Karena lebih dari itu kita juga perlu memahami konteks yang sedang terjadi, dan pikiran-pandangan orang lain yang mungkin saja berbeda. Karena ada ungkapan tentang “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Terkait prinsip ini semoga ada kesempatan lain untuk saya tuliskan dengan lebih lengkap.

Oiya, ada kesenangan lain terkait Coldplay yang belum saya tuliskan, yaitu kesenangan orang yang menipu pembeli tiket melalui media sosial. Kocak memang, untung sampai bermilyar-milyar. Apa tidak berpikir kalau penipuan kayak gini bisa langsung dirasakan oleh korban, ya paling tidak ketika mereka datang ke tempat konser dan akhirnya tidak bisa masuk. Atau malah dari awal protes karena tidak dikirim tiketnya.

Maka perlu hati-hati dalam bermedia sosial, tidak semua orang punya niat baik. Bahkan orang yang berniat baik, bisa saja hanya berdimensi baik untuk dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah-Kisah Kebetulan di Fargo

Bagaimana jadinya ketika bapak-bapak korban perundungan tidak sengaja curhat pada seorang pembunuh? Pembunuh itu segera memberi pelajaran pada perundung, mengajak bapak itu bangkit, dan melibatkannya dalam kasus pembunuhan lainnya.      Begitulah Serial Fargo, kata kuncinya adalah “tidak sengaja” yang akhirnya bermuara pada “kasus pembunuhan”. Serial TV ini selalu memberi gimik di awal episode, bahwa diadaptasi dari kejadian nyata, korban yang selamat namanya disamarkan dan bla-bla-bla, seolah ini berasal dari kisah nyata. Tapi terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas serial yang telah sampai season 4 ini diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama “Fargo” yang rilis pada 1996. Film Fargo: latar waktu 1995 Jerry bernegosiasi dengan calon penculik ( sumber gambar )      Film ini bercerita tentang Jerry, seorang menantu resah karena bos yang juga merupakan mertuanya sering menyinggung ketidaksuksesan dirinya. Tanpa sepengetahuan istrinya, si menantu menyewa 2 orang kri

Mati di Jogjakarta beserta Alasannya

Mati di Jogjakarta , sebuah antologi cerpen karya Egha De Latoya. Masih ingat ketika di Bandung akhir tahun 2022, masuk Gramedia aku hanya berpikir bahwa perlu beli buku. Tidak tahu mau beli buku seperti apa, tapi yang jelas adalah buku fiksi. Sederhana, karena buku yang terkahir aku baca (bukan karena suatu tugas atau pekerjaan) adalah buku non fiksi, yaitu Filosofi Teras. Beberapa alasan akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini adalah: Kecil dan tidak tebal Mungkin kata “tidak tebal” lebih tepat diganti dengan “tipis”, tapi menurutku buku ini tidak tipis-tipis banget. Ini penting karena sampai tulisan ini aku ketik, aku masih tidak percaya diri akan bisa selesai membaca buku-buku tebal. Sepaket alasan, aku pikir ukuran yang kecil akan memuat tulisan yang tidak terlalu banyak dalam setiap halamannya. Sehingga target minimal membaca 10 halaman setiap hari tidak begitu berat. Remeh banget ya hehe . Aku juga sudah berpikir bahwa buku yang aku beli akan sering masuk tas dan dibaca