Langsung ke konten utama

The Sherlockian


Pengalaman membaca buku, subjektif J

The Sherlockian, Memburu Pengakuan Rahasia Conan Doyle, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Graham Moore yang terbit pada tahun 2010. Tapi untuk versi bahasa Indonesia, buku ini diterbitkan oleh Bukune pada tahun 2013.

Aku pribadi membeli buku ini sekitar setahun yang lalu, 2017. Memang saat itu aku sedang mengikuti Serial TV ‘Sherlock Holmes’ yang awalnya aku tahu cerita detektif yang deduktif ini melalui film-filmnya. Walau jujur, dulu aku  seperti butuh usaha yang lebih untuk benar-benar menikmati film Sherlock Holmes.

Ya, semenjak aku jadi mahasiswa Teknologi Pendidikan. Menonton Sherlock Holmes itu bisa menghadirkan pengalaman mengesalkan –mengesankan- tersendiri. Di kuliah, aku dikenalkan dengan model pembelajaran memorization atau mnemonik, intinya tentang seni menghapal, yang mana di dalamnya juga ada cabang yang disebut sebagai Memory Palace. Kalau yang ngikutin Sherlock pasti tahulah istilah tersebut, yang kurang lebih adalah tentang menempatkan ingatan-ingatan pada suatu benda. Aku juga diajarkan tentang nyamannya belajar dengan cara berpikir Induktif. Tahu kan induktif? Yang lawannya deduktif. Tapi di Sherlock, kita akan sering mendengar istilah deduktif, yang kayaknya keren. Kan aku jadi pengen tahu.

Sampai akhirnya aku menemukan buku ini dan memutuskan membelinya. Harapan utama yang ingin aku dapat dari buku ini adalah penjelasan-penjelasan tentang teori-teori beripikir atau apalah itu yang terdapat dalam diri Sherlock. Secara, judulnya adalah The Sherlockian, aku yang baru tahu tentang aliran-aliran pemikiran yang diikuti dari suatu tokoh, berpikir bahwa akhiran ‘ian’ adalah kumpulan para pengikut Sherlock Holmes. Mereka membahas cerita dan memiliki penjelasan dari cara berpikir tokoh tersebut. Selain itu subjudul ‘Memburu Pengakuan Rahasia Conan Doyle’, membuat aku –yang tidak mengikuti Sherlock dari buku- berpikir bahwa ini buku yang tepat untuk mempelajari cara berpikir Sherlock dari penulisnya.

Setelah sampai rumah, dan membuka bukunya. Awh, ternyata isinya novel. Tidak butuh waktu lama, aku tutup lagi dan memutuskan untuk mengakhiri membacanya. Saat itu aku merasa tidak tertarik dan sudah dibingungkan dengan “ini kok ceritanya ada dua sih.”.

Sampai akhirnya liburan semester tahun 2018 datang. Aku memutuskan untuk mencoba membaca The Sherlockian lagi. Ya, memutuskan untuk mencoba membaca. Terdapat banyak pujian dari berbagai pihak yang dituliskan di halaman awal buku ini. Abaikan, seterpuji apapun, kalau aku sendiri gak tahu maksudnya, mau ngapain. Bagian pujian yang berlembar-lembar itu pun aku tidak baca.

Ternyata buku ini bukanlah berisi sembarang cerita. Tapi berisi cerita pembuat cerita, Conan Doyle. Dan, membosankannya lagi, buku ini terdiri dari 2 cerita yang membuatku sebagai orang yang sebelumnya sudah jarang baca novel, tanpa niatan kuat untuk membaca ya bakal kututup lagi. Aku tetap membaca dan di bab-bab awal aku hanya berpikir “Owh, ini cerita tentang Conan Doyle sang pembuat cerita dan cerita dari Harold salah satu Sherlockian -fanatik Sherlock Holmes.” Bagus juga, seperti butterfly effect-kah... tentang sebab-akibat gitu?

Ewh, ternyata novel ini adalah novel paralel yang akan menemukan kedua cerita tersebut jika keduanya selesai dibaca. Aku harap itu bukanlah spoiler, karena kupikir itu memang sudah dijelaskan di bagian Pujian –yang malah kubaca setelah menyelesaikan ceritanya.

Ya, walau pun aku tidak sepenuhnya mendapat hal yang sejak awal aku inginkan dari membaca buku ini. Aku memberi skor buku ini 9,5 dari 10. Ya, aku pemurah kan... haha, ya mungkin karena belum banyak buku yang aku baca. Bahkan seingatku, ini buku kedua yang aku baca sampai selesai di tahun ini. J

Walau begitu, cerita di buku ini memberikan pembelajaran-pembelajaran yang kupikir berkesan. Terutama jika kawan-kawan memang penikmat atau setidaknya pernah menikmati karya-karya tentang Sherlock Holmes. Intinya buku ini adalah semacam novel – cerita paralel – fiksi sejarah.

Koreksi jika ada yang salah J
Minggu, 5 Agustus 2018

Aji Tofa. ig: @ajitof

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah-Kisah Kebetulan di Fargo

Bagaimana jadinya ketika bapak-bapak korban perundungan tidak sengaja curhat pada seorang pembunuh? Pembunuh itu segera memberi pelajaran pada perundung, mengajak bapak itu bangkit, dan melibatkannya dalam kasus pembunuhan lainnya.      Begitulah Serial Fargo, kata kuncinya adalah “tidak sengaja” yang akhirnya bermuara pada “kasus pembunuhan”. Serial TV ini selalu memberi gimik di awal episode, bahwa diadaptasi dari kejadian nyata, korban yang selamat namanya disamarkan dan bla-bla-bla, seolah ini berasal dari kisah nyata. Tapi terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas serial yang telah sampai season 4 ini diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama “Fargo” yang rilis pada 1996. Film Fargo: latar waktu 1995 Jerry bernegosiasi dengan calon penculik ( sumber gambar )      Film ini bercerita tentang Jerry, seorang menantu resah karena bos yang juga merupakan mertuanya sering menyinggung ketidaksuksesan dirinya. Tanpa sepengetahuan istrinya, si menantu menyewa 2 orang kri

Mati di Jogjakarta beserta Alasannya

Mati di Jogjakarta , sebuah antologi cerpen karya Egha De Latoya. Masih ingat ketika di Bandung akhir tahun 2022, masuk Gramedia aku hanya berpikir bahwa perlu beli buku. Tidak tahu mau beli buku seperti apa, tapi yang jelas adalah buku fiksi. Sederhana, karena buku yang terkahir aku baca (bukan karena suatu tugas atau pekerjaan) adalah buku non fiksi, yaitu Filosofi Teras. Beberapa alasan akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini adalah: Kecil dan tidak tebal Mungkin kata “tidak tebal” lebih tepat diganti dengan “tipis”, tapi menurutku buku ini tidak tipis-tipis banget. Ini penting karena sampai tulisan ini aku ketik, aku masih tidak percaya diri akan bisa selesai membaca buku-buku tebal. Sepaket alasan, aku pikir ukuran yang kecil akan memuat tulisan yang tidak terlalu banyak dalam setiap halamannya. Sehingga target minimal membaca 10 halaman setiap hari tidak begitu berat. Remeh banget ya hehe . Aku juga sudah berpikir bahwa buku yang aku beli akan sering masuk tas dan dibaca

Budi Pekerti Coldplay di Plaza Senayan

 Sepuluh hari yang lalu, Rabu 15 November 2023, hari Coldplay tampil di Gelora Bung Karno. Saya jalan ke luar kantor, ke arah kerumunan calon penonton Coldplay, dan memutuskan untuk menonton Film Budi Pekerti di Plaza Senayan. Memang cara orang untuk mendapatkan kesenangan berbeda-beda. Ada orang yang senang dengan melihat artis luar negeri, orang yang berhasil mengundang artis luar negeri, orang yang senang dengan menghibur orang lain, orang yang senang berada dalam kerumunan, orang yang senang ketika berdagang dalam kerumunan, dan saya orang yang saat itu senang menghindari kerumunan. Bioskop di Plaza Senayan barang kali adalah bioskop paling eksklusif yang pernah saya datangi. Sepertinya tidak ada kecurigaan dari satpam melihat kemungkinan saya membawa makanan dalam tas yang berisi grill pan hadiah gathering yang siang itu saya ambil dari kantor. Bioskop pertama yang menolak uang tunai saya untuk membeli tiket. Bagus, padahal nominal yang harus saya bayar adalah 50000. Nominal y