Langsung ke konten utama

Urip iku Urup

Merupakan salah satu kalimat yang mulai kukenal dan sukai kurang lebih sejak aku semester 2. Aku kurang begitu paham tentang siapa yang mencetuskan kutipan keren ini, mungkin suatu saat kalau ada koneksi internet dan ingat bakal aku cari.

Seingatku, aku suka kalimat ini setelah sedikit mempelajari tentang teori sosial Fungsional Struktural. Bahwa intinya “aku hidup jika aku memiliki peran (fungsi) di lingkunganku hidup”. Peran atau fungsi di sini bukan saja berarti peran sebagai orang baik atau pun pekerjaan dan perilaku baik lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Tapi juga bisa berarti peran buruk yang sebenarnya juga menghidupkan suasana di masyarakat. Sosial.

Ya tentu, seharusnya dengan pendidikan (karakter) sekarang, paling tidak kita tahu seperti apa peran yang baik dan perlu kita pilih untuk laksanakan. Sampai sini semoga sudah tahu maksud saya. Tapi santai, ini sekadar sudut pandang dan pengertianku tentang Fungsional Struktural yang menurutku baru dikit. Jadi kalau ada pandangan atau pelurusan, monggo koreksinya. J

Nah, sekarang apa hubungannya ‘Urip iku (kudu) Urup’ dengan ‘Fungsional Struktural’?

Menurutku pribadi, Urip iku Urup berarti Hidup itu Menyala. Setiap manusia yang hidup itu ibaratkan api atau lampu yang manyala. Setiap lampu atau api ini sebenarnya ada dan bercahaya, tapi biasanya akan ada yang kurang terlihat karena ada cahaya lain yang lebih besar atau terang. Sampai disini kuartikan Urip iku Urup adalah tentang eksistensial. Jika kita ingin eksis, nyalalah lebih terang, atau... ewh kok malah bahas ini...

Nah itu merupakan salah satu pandanganku tentang istilah Urip iku Urup. Satu lagi pendanganku tentang Hidup itu Menyala dan manusia sebagai api yang menerangi adalah tentang kebermanfaatan. Kita harus dapat bermanfaat bagi orang lain dengan cahaya atau api yang kita miliki.

Nah lagi nih... J ekstrimnya, api yang menyala juga bisa membakar lingkungan dan menimbulkan kerusakan, kalau salah atau lalai dalam pemanfaatannya. Nah sekali lagi nih... J Aku menyukai kutipan ini karena menurutku Urip iku Urup itu hampir sama dengan teori sosial Fungsional Struktural yang sedikit banyak mulai kucoba terus lakukan dalam kehidupan.Sebisa mungkin membuat manfaat, komunikasi berbagi informasi atau hanya sekadar interaksi untuk membuat kesan respek atau senyuman. Sama-sama tentang ‘kalau hidup itu harus menjadi manfaat’. Karena Urip wangune Madangi. Halah... santai.

Intinya apa? Kok bisa suka kutipan itu?

Kupikir aku mengenal tentang Fungsional Struktural terlebih dahulu, dan ingin berbagi tentang ‘hidup itu harus bermanfaat’, tapi kok istilahnya kurang banyak yang paham. Atau mungkin aku yang salah paham. Sehingga pas muncul kutipan ‘Urip iku Urup’ dari orang lain, kupikir kurang lebih bisa menggambarkan tentang hal yang sedang aku suka dan kayaknya lebih mudah untuk dipahami orang lain. Paham? Santai lah... kabar-kabar saja kalau belum...

Selasa, 19 Juni 2018
Aji Tofa. Ig: @ajitof

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah-Kisah Kebetulan di Fargo

Bagaimana jadinya ketika bapak-bapak korban perundungan tidak sengaja curhat pada seorang pembunuh? Pembunuh itu segera memberi pelajaran pada perundung, mengajak bapak itu bangkit, dan melibatkannya dalam kasus pembunuhan lainnya.      Begitulah Serial Fargo, kata kuncinya adalah “tidak sengaja” yang akhirnya bermuara pada “kasus pembunuhan”. Serial TV ini selalu memberi gimik di awal episode, bahwa diadaptasi dari kejadian nyata, korban yang selamat namanya disamarkan dan bla-bla-bla, seolah ini berasal dari kisah nyata. Tapi terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas serial yang telah sampai season 4 ini diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama “Fargo” yang rilis pada 1996. Film Fargo: latar waktu 1995 Jerry bernegosiasi dengan calon penculik ( sumber gambar )      Film ini bercerita tentang Jerry, seorang menantu resah karena bos yang juga merupakan mertuanya sering menyinggung ketidaksuksesan dirinya. Tanpa sepengetahuan istrinya, si menantu menyewa 2 orang kri

Mati di Jogjakarta beserta Alasannya

Mati di Jogjakarta , sebuah antologi cerpen karya Egha De Latoya. Masih ingat ketika di Bandung akhir tahun 2022, masuk Gramedia aku hanya berpikir bahwa perlu beli buku. Tidak tahu mau beli buku seperti apa, tapi yang jelas adalah buku fiksi. Sederhana, karena buku yang terkahir aku baca (bukan karena suatu tugas atau pekerjaan) adalah buku non fiksi, yaitu Filosofi Teras. Beberapa alasan akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini adalah: Kecil dan tidak tebal Mungkin kata “tidak tebal” lebih tepat diganti dengan “tipis”, tapi menurutku buku ini tidak tipis-tipis banget. Ini penting karena sampai tulisan ini aku ketik, aku masih tidak percaya diri akan bisa selesai membaca buku-buku tebal. Sepaket alasan, aku pikir ukuran yang kecil akan memuat tulisan yang tidak terlalu banyak dalam setiap halamannya. Sehingga target minimal membaca 10 halaman setiap hari tidak begitu berat. Remeh banget ya hehe . Aku juga sudah berpikir bahwa buku yang aku beli akan sering masuk tas dan dibaca

Budi Pekerti Coldplay di Plaza Senayan

 Sepuluh hari yang lalu, Rabu 15 November 2023, hari Coldplay tampil di Gelora Bung Karno. Saya jalan ke luar kantor, ke arah kerumunan calon penonton Coldplay, dan memutuskan untuk menonton Film Budi Pekerti di Plaza Senayan. Memang cara orang untuk mendapatkan kesenangan berbeda-beda. Ada orang yang senang dengan melihat artis luar negeri, orang yang berhasil mengundang artis luar negeri, orang yang senang dengan menghibur orang lain, orang yang senang berada dalam kerumunan, orang yang senang ketika berdagang dalam kerumunan, dan saya orang yang saat itu senang menghindari kerumunan. Bioskop di Plaza Senayan barang kali adalah bioskop paling eksklusif yang pernah saya datangi. Sepertinya tidak ada kecurigaan dari satpam melihat kemungkinan saya membawa makanan dalam tas yang berisi grill pan hadiah gathering yang siang itu saya ambil dari kantor. Bioskop pertama yang menolak uang tunai saya untuk membeli tiket. Bagus, padahal nominal yang harus saya bayar adalah 50000. Nominal y